Tidak Mudah Mematahkan Stigma Hepatitis B di Masyarakat
A
A
A
PERSOALAN hepatitis bukan terkait penyakit semata, akan tetapi juga menyangkut masalah sosial yang ditimbulkan akibat stigma yang beredar di masyarakat. Sebut saja Mawar namanya, wanita muda yang siap dipinang oleh pria idamannya. Undangan pernikahan sudah disebar, gedung untuk resepsi juga sudah oke. Tinggal menunggu datangnya hari bahagia calon mempelai yang akan berlangsung dua minggu ke depan.
Namun, nasib berkata lain. Oleh dokter, calon pengantin wanita itu divonis menderita hepatitis B. “Alhasil, pernikahan dibatalkan. Keluarga pria menolak untuk melanjutkan rencana tersebut. Pasien saya tidak jadi menikah,” ungkap Dr dr Rino A Gani, SpPD, KGEH dalam acara “Kalbe Peringati Hari Hepatitis Sedunia”, Minggu (28/7), yang diadakan PT Kalbe Farma Tbk.
Ya, mendengar hepatitis bagi sebagian masyarakat mungkin seperti mendengar HIV/AIDS. Kalau sudah begitu, penderita bukan menghadapi penyakitnya saja. Mereka juga harus berjuang di tengah anggapan miring soal penyakitnya. Mereka seperti terkucilkan dan ruang geraknya menjadi terbatas. Interaksi sosial pun menjadi sempit.
Masyarakat seakan menjaga jarak jika mengetahui seseorang menderita penyakit hepatitis. Pasien dr Rino yang lain, misalnya, sampai ditolak dari sebuah perusahaan karena menderita hepatitis B. Alasannya sederhana, takut tertular. “Padahal, virus hepatitis tidak bisa menular lewat berjabatan tangan, misalnya, kecuali hepatitis A yang bisa menular melalui bertukar alat makan,” kata Presiden Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) ini.
Kekhawatiran keluarga pria terhadap penyakit calon pengantin wanita, menurut dr Ring, disebabkan pengetahuan masyarakat yang masih rendah. “Selama pasangan kita sudah divaksin (hepatitis B) maka tidak ada masalah. Sementara untuk anak yang nanti akan dilahirkan maka bisa dicegah penularan lewat vaksin juga,” ujar dr Rino. Sejak tahun 1997 pemerintah sudah mewajibkan vaksin hepatitis B kepada bayi yang baru lahir.
Pemerintah DKI Jakarta sendiri kini mewajibkan calon pengantin melakukan beberapa pemeriksaan kesehatan di mana salah satunya tes hepatitis guna mendeteksi adanya masalah kesehatan sebelum sah menjadi suami-istri. “Kenapa perlu? Karena, untuk memutus mata rantai hepatitis adalah dari ibu ke anak,” imbuh dr Rino. Untuk hepatitis B, pengobatan yang dilakukan berguna untuk mencegah terjadinya kanker hati ataupun sirosis (pengerasan hati).
Kementerian Kesehatan dalam waktu setahun terakhir sudah berhasil mengobati 3.000 penderita hepatitis B. Sebuah peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan lima tahun lalu di mana penyakit ini sulit disembuhkan bahkan harapan hidup tidak sampai 50%. Belum lagi harga obat yang mahal serta efek samping yang terjadi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana penderita mengetahui dirinya terinfeksi virus hepatitis B sehingga dapat segera ditanggulangi dan tidak mengarah ke komplikasi.
“Inilah yang menjadi masalah karena banyak penderita yang tidak tahu dia terkena virus ini. Hepatitis itu tidak bergejala sehingga walau sudah terinfeksi virus hepatitis B/C, dia tidak periksa maka tetap tidak akan diketahui penyakitnya,” tutur Dr dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM selaku Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Dia mengatakan, data dari seluruh rumah sakit di Indonesia banyak sekali kasus penyakit hati. Dari kasus itu, penyebab utamanya adalah hepatitis B dan C. Terkait hepatitis, PT Kalbe Farma Tbk baru saja meluncurkan obat TKV (Entecavir khusus hepatitis B) untuk menghambat replikasi virus yang sudah masuk dalam Fornas (Formularium Nasional).
“Profil keamanan pada ginjal relatif baik dan tingkat viral breakthrough rendah,” kata Ridwan Ong selaku marketing director PT Kalbe Farma Tbk. Hal ini penting mengingat obat ini akan dikonsumsi jangka panjang. Peringatan Hari Hepatitis Sedunia yang jatuh hari Minggu (28/7) mengambil tema “Find The Missing Millions”.
Diambilnya tema ini karena masih banyak penderita hepatitis yang tidak terdeteksi. Di Indonesia saja ada sekitar 7-8% penderita hepatitis B. “Sebanyak 7% dari 250 juta (populasi) berarti belasan juta jiwa,” kata dr. Irsan. Maka dari itu, skrining hepatitis amatlah penting. Bagi yang terbukti positif, pengobatan harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan komplikasi. “Kalau sudah terinfeksi, penderita harus periksa USG dan darah setiap enam bulan sekali,” tandas dr Irsan.
Namun, nasib berkata lain. Oleh dokter, calon pengantin wanita itu divonis menderita hepatitis B. “Alhasil, pernikahan dibatalkan. Keluarga pria menolak untuk melanjutkan rencana tersebut. Pasien saya tidak jadi menikah,” ungkap Dr dr Rino A Gani, SpPD, KGEH dalam acara “Kalbe Peringati Hari Hepatitis Sedunia”, Minggu (28/7), yang diadakan PT Kalbe Farma Tbk.
Ya, mendengar hepatitis bagi sebagian masyarakat mungkin seperti mendengar HIV/AIDS. Kalau sudah begitu, penderita bukan menghadapi penyakitnya saja. Mereka juga harus berjuang di tengah anggapan miring soal penyakitnya. Mereka seperti terkucilkan dan ruang geraknya menjadi terbatas. Interaksi sosial pun menjadi sempit.
Masyarakat seakan menjaga jarak jika mengetahui seseorang menderita penyakit hepatitis. Pasien dr Rino yang lain, misalnya, sampai ditolak dari sebuah perusahaan karena menderita hepatitis B. Alasannya sederhana, takut tertular. “Padahal, virus hepatitis tidak bisa menular lewat berjabatan tangan, misalnya, kecuali hepatitis A yang bisa menular melalui bertukar alat makan,” kata Presiden Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) ini.
Kekhawatiran keluarga pria terhadap penyakit calon pengantin wanita, menurut dr Ring, disebabkan pengetahuan masyarakat yang masih rendah. “Selama pasangan kita sudah divaksin (hepatitis B) maka tidak ada masalah. Sementara untuk anak yang nanti akan dilahirkan maka bisa dicegah penularan lewat vaksin juga,” ujar dr Rino. Sejak tahun 1997 pemerintah sudah mewajibkan vaksin hepatitis B kepada bayi yang baru lahir.
Pemerintah DKI Jakarta sendiri kini mewajibkan calon pengantin melakukan beberapa pemeriksaan kesehatan di mana salah satunya tes hepatitis guna mendeteksi adanya masalah kesehatan sebelum sah menjadi suami-istri. “Kenapa perlu? Karena, untuk memutus mata rantai hepatitis adalah dari ibu ke anak,” imbuh dr Rino. Untuk hepatitis B, pengobatan yang dilakukan berguna untuk mencegah terjadinya kanker hati ataupun sirosis (pengerasan hati).
Kementerian Kesehatan dalam waktu setahun terakhir sudah berhasil mengobati 3.000 penderita hepatitis B. Sebuah peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan lima tahun lalu di mana penyakit ini sulit disembuhkan bahkan harapan hidup tidak sampai 50%. Belum lagi harga obat yang mahal serta efek samping yang terjadi. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana penderita mengetahui dirinya terinfeksi virus hepatitis B sehingga dapat segera ditanggulangi dan tidak mengarah ke komplikasi.
“Inilah yang menjadi masalah karena banyak penderita yang tidak tahu dia terkena virus ini. Hepatitis itu tidak bergejala sehingga walau sudah terinfeksi virus hepatitis B/C, dia tidak periksa maka tetap tidak akan diketahui penyakitnya,” tutur Dr dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH, FINASIM selaku Ketua Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Dia mengatakan, data dari seluruh rumah sakit di Indonesia banyak sekali kasus penyakit hati. Dari kasus itu, penyebab utamanya adalah hepatitis B dan C. Terkait hepatitis, PT Kalbe Farma Tbk baru saja meluncurkan obat TKV (Entecavir khusus hepatitis B) untuk menghambat replikasi virus yang sudah masuk dalam Fornas (Formularium Nasional).
“Profil keamanan pada ginjal relatif baik dan tingkat viral breakthrough rendah,” kata Ridwan Ong selaku marketing director PT Kalbe Farma Tbk. Hal ini penting mengingat obat ini akan dikonsumsi jangka panjang. Peringatan Hari Hepatitis Sedunia yang jatuh hari Minggu (28/7) mengambil tema “Find The Missing Millions”.
Diambilnya tema ini karena masih banyak penderita hepatitis yang tidak terdeteksi. Di Indonesia saja ada sekitar 7-8% penderita hepatitis B. “Sebanyak 7% dari 250 juta (populasi) berarti belasan juta jiwa,” kata dr. Irsan. Maka dari itu, skrining hepatitis amatlah penting. Bagi yang terbukti positif, pengobatan harus segera dilakukan agar tidak menimbulkan komplikasi. “Kalau sudah terinfeksi, penderita harus periksa USG dan darah setiap enam bulan sekali,” tandas dr Irsan.
(don)